Tags

, , , ,


Anak Sabang di Kebon Marica

Anak Sabang di Kebon Marica

Delapan Mei 2005, sekitar pukul 15:45, sebuah kapal cepat merapat di pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Setelah menunggu beberapa saat, saya melihat “seorang tua” berjalan agak tertatih, melangkah di dermaga apung. Setelah melewati pemeriksaan KTP oleh petugas keamanan, ia saya dekati segera.

Sosok di depan saya adalah “orang sepuh” yang “nekad” hadir pada acara yang kami (RSGISForum) adakan, yaitu Seminar Nasional dan Pelatihan RS/GIS dalam rangka pascabencana gempa dan tsunami Aceh, di Pulau Weh, Kota Sabang, Aceh.

“Saya panitia yang menjemput Bapak”, kira-kira itu yang saya ucapkan. Beliau tersenyum ramah dan menjabat tangan dengan erat. Kami segera menuju mobil sedan yang disediakan khusus untuk “orang tua” ini. Bang Ali Taufik (Alto), rekan saya, yang membawa sedan tersebut, sedangkan “orang tua” tadi, yang bernama Jacub Rais, duduk di belakang bersama saya.

Kami segera terlibat dalam pembicaraan hangat, terasa sekali ia tidak canggung bicara dengan saya dan bang Alto yang umurnya dua generasi dibawah beliau. Saya langsung tawarkan tantangan kepada beliau.

“Pak Jacub, apakah Bapak masih ingat dimana rumah tinggal Bapak dulu, saat di Sabang..?”

Dengan yakin beliau menjawab, “Masih, ayo kita cari bersama”. Dan kami segera meluncur memasuki Kota Sabang.

Petunjuk pertama dari beliau adalah: “Saya dulu lahir dan tinggal di Kebon Marica”.

Bang Alto segera membawa kami melewati Jalan Yos Sudarso, memasuki Jalan Teuku Umar. Ah, beliau mulai bercerita, sambil melihat bangunan Rumah Sakit di depan kami. Beliau mengenali bangunan yang telah ada sejak jaman Belanda tersebut.

Kami memasuki Jalan Malahayati yang menyusuri Pantai Kasih yang indah, ke arah sisi Teluk Sabang. Kami melewati Ujong Masam, kemudian memasuki Lho Panglima, hingga akhirnya mendekati depo Pertamina di sisi kanan. Tidak jauh tampak bangunan-bangunan pergudangan di sisi kanan jalan yang ternyata mempunyai banyak cerita di benak pak Jacub.

Memasuki Kebon Marica, bang Alto segera belok ke kiri, memasuki jalan Cut Ali. Jalan ini adalah jalan mendaki yang menuju ke Hotel Sabang Hill, sebuah hotel di puncak bukit yang mempunyai lokasi pandangan terbaik ke Teluk Sabang yang teduh. Mobil segera bergerak pelan, dan pak Jacub segera meminta bang Alto untuk belok ke kanan sekitar 150 meter setelah memasuki jalan ini. Ia mulai memerhatikan sekeliling dengan seksama.

Sekitar 100 meter kemudian ia meminta bang Alto berhenti. Beliau turun, dan setengah kami bantu, karena tampak letih setelah perjalanan jauh dari Jakarta – Banda Aceh – Sabang, ia melangkah pasti ke satu rumah. Melintasi sebuah lapangan bulutangkis, kemudian ia berhenti dan berkata dengan pasti: “Ini rumah dimana saya dulu tinggal”.

Tampak sebuah rumah semi permanen, bentuk biasa saja, yang merupakan rumah “pavilion” di depan rumah induk, masih tegak. Rumah induk yang ditempati pak Jacub dulu ada di belakang rumah ini, tapi tampaknya sudah tidak ada lagi bangunannya sekarang.

Pak Jacub bertanya pada orang yang ada di dekatnya. Ia menanyakan sekaligus menceritakan banyak hal tentang lingkungan itu pada kami dan orang yang ada disana, dan dibenarkan oleh mereka.

“Dulu di depan sini ada pohon anu, betul nggak,” dan dibenarkan oleh si bapak penghuni rumah disana, dibarengi keterangan bahwa pohon tersebut sudah ditebang beberapa tahun lalu.

“Di simpang situ, dulu ada pak Anu, ia jualan pecel, tapi anak-anaknya semua berhasil jadi sarjana. Dimana keluarganya sekarang..?”

“Oh keluarga bapak anu tersebut sudah pindah ke Aceh daratan Pak,” jawab yang ditanya.

Pak Jacub terus bercerita tentang masa kecilnya disini, di lingkungan ini. Saat mana orang tuanya yang berdarah Madura bekerja di bengkel kapal (galangan), dan ia sering ikut serta bermain di sana. Galangan kapal raksasa adalah di gudang-gudang besar yang terlihat tadi.

Sabang adalah pelabuhan laut dengan kondisi laut terbaik ketiga di dunia versi Belanda. Disinilah Belanda membangun galangan kapal raksasa. Teluk Sabang sangat mendukung, dimana kedalaman dasarlautnya sangat dalam, dan tempatnya terlindung dari ombak ganas Samudera Hindia. Dekat pula dengan jalur lalulintas internasional yang melewati Selat Malaka. Sangat strategis.

Kenakalan beliau saat kecil pun diceritakan pada kami… Ah… ternyata Jacub kecil sama saja dengan anak-anak lainnya…

“Si sepuh” ini juga bercerita saat mana ia menyaksikan iring-iringan kapal perang sekutu melewati selat Malaka. Ia dapat menyaksikan itu di puncak bukit di belakang rumahnya, dimana di sana dibangun “sign-post” oleh Belanda. Suatu pos penjagaan laut berlokasi di titik tertinggi di Sabang, dimana di sana dapat memantau semua kapal yang akan lewat atau berasal dari Selat Malaka. Ia sangat cerah ceria menceritakan semua itu kepada kami.

Ada juga episode dimana Jepang mulai memasuki Sabang. Tentara Jepang menyerang dengan menghujani pantai dengan peluru-peluru meriam. Jacub kecil bersama keluarga dan tetangganya segera menaiki bukit di belakang rumahnya dan berlindung di baliknya, hingga serangan reda.

Tampaknya, saat itu, sang Profesor kelahiran Sabang 18 Juni 1928 ini seolah membuka kembali kehidupan kecilnya di Kebon Marica. Satu demi satu halaman kenangan beliau diutarakan kepada kami. Kemampuan ingatan yang jernih dan detil membuat kami semua terkagum-kagum.

Kunjungan kami sore yang cerah itu diakhiri dengan sebuah foto, dimana Pak Jacub berdiri di depan “rumahnya”. Tampak sekali keharuan dan kesenduan dimukanya…

Si “Anak Sabang” itu, Senin, 28 Maret 2011, telah berpulang ke Sang Pencipta. Sang pelaku sejarah Indonesia yang banyak terlibat dalam pembangunan Geomatika di Indonesia telah melangkah pergi untuk selamanya. Salah satu saksi kunci dari “insiden Sipadan dan Ligitan” inipun telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Profesor dan Guru Besar di Institut Teknologi Bandung, dan Honorary Fellow ITC Belanda, yang selalu enerjik dan ramah inipun telah tiada di antara kita lagi.

Selamat jalan Pak Jacub, selamat jalan anak Kebon Marica…

—–

Peta beberapa lokasi dalam cerita diatas, sila klik disini.