Mangrove menjadi ternding akhir-akhir ini, dimana pemberitaan dan kegiatan terus bergulir dimana-mana. PTPSW (Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah-BPPT) juga ikut menyajikan webinar mengenai mangrove ini. Para pembicara adalah akademisi dan praktisi lapangan mengenai mangrove, serta generasi muda yang mencoba mendeteksi mangrove dari angkasa, melalui data satelit.
Banyak pihak sudah mengetahui dan paham atas kegunaan mangrove ini, tetapi untuk penerapannya yang optimal di habitatnya memang dibutuhkan usaha yang tidak ringan dan waktu yang tidak singkat. Mari kita ikuti percakapan mengenai mangrove ini dan teknologi yang bisa kita gunakan untuk membantu melestarikannya.
Bagi kita yang berkesempatan studi mengenai mangrove, mari kita bersama mempelajarinya dan sekalian mempraktikannya, apakah dalam modus daring ataupun luring.
Mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan kesukaan tentunya mengasyikkan. Mulai bulan Februari 2018 saya di-tambahi tugas yang asik oleh atasan untuk mengawal (baca: ngurusi semua) tentang media sosial di unit kantor. Saya, berdua dengan mas Bryan, ditugasi mengelola akun Twitter, Instagram, dan Facebook (fan page) milik resmi Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (PTPSW, BPPT).
Pada tanggal 26 Februari 2018 meluncurlah ketiga media sosial tersebut di dunia maya, yaitu di twitterland dengan nama @PTPSW_BPPT
Lalu demikian juga di Instagram, dengan akun @PTPSW_BPPT:
Dan juga di Facebook fan page dengan akun @PTPSW.BPPT:
Sejak hari itu dimulailah keterbukaan informasi kegiatan PTPSW di dunia maya secara resmi. Hampir semua kegiatan yang dilakukan semua staf PTPSW, baik internal maupun eksternal diinformasikan kepada publik melalui media sosial.
Dunia media sosial bukan hal baru bagi saya. Sejak awal 2000an saya sudah mulai mengenal dan menjadi pemain disana. Saat itu yang paling top adalah Friendster dan kemudian My Space. Barulah kemudian Facebook dan lain-lain menyusul menjadi pemain media sosial yang besar.
Walaupun sudah mengenal media sosial sejak lama, kendala yang ditemui masih sangat banyak dalam memainkan media sosial plat merah ini. Ternyata banyak hal yang sangat berbeda ditemui dibandingkan dengan saat menggunakan akun pribadi, walaupun di ranah medsos yang sama.
Kendala yang ditemui antara lain adalah menarik dan meningkatkan pengikut (follower) pada Twitter dan Instagram, dan juga meningkatkan penyuka (liked) pada Facebook. Tidaklah semudah pada akun pribadi, akun plat merah ini sulit sekali mengembangkan jumlah pengikut/penyuka-nya.
Setelah beberapa kali diskusi dengan rekan-rekan pemain medsos, beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab masalah adalah: – Isi yang bersifat informasi teknologi yang tidak banyak peminatnya; – Berita merupakan kegiatan kantor yang tidak menarik bagi pihak lain; – Bahasa yang rada kaku, karena menjaga satu dan lain hal; – Keterbatasan penyampaian respon dari pertanyaan, walau dalam satu Pusat yang sama tetapi banyak rekan saya yang mempunyai keahlian spesifik, sedangkan saya mempunyai keterbatasan pengetahuan; – Belum ada isu yang sangat menarik bagi warganet dari akun ini , misalnya mengenai penerimaan PNS 😀
Ada hal lain yang mendasar, yaitu perbedaan atmosfer dari ketiga medsos tersebut. Pemain Twitter belum tentu mau menyentuh Instagram atau Facebook. Begitu juga dengan pemain Instagram belum tentu mau menggunakan Twitter ataupun Facebook (walau saat ini Facebook dan Instagram dimiliki pemilik yang sama). Ketiganya mempunyai gaya hidup masyarakat yang sangat berbeda. Saat mengisi (posting) salah satu medsos tersebut, saya harus men-switch cara berfikir agar bahasanya tepat. Dan … itu nggak mudah bro … 😀
Semua kendala yang terinventarisir ini menjadi bahan untuk perbaikan diwaktu mendatang. Mungkin perlu FGD akhir tahun…? 😀
Jumat lalu, akhir November, saya mengikuti rapat koordinasi SIMAN BPPT, kumpulan pengelola media sosial di BPPT. Dari pertemuan singkat ini saya mendapatkan beberapa asupan yang lumayan bagus. Duh terima kasih bangeeet untuk bapak/ibu pembina dan juga rekan sesama pengelola. Antara lain adalah dengan memadukan atau mengaitkan akun plat merah dengan akun personal sehingga informasi bisa lebih luas jangkauannya. Syukur-syukur bisa untuk menambah pengikut/penyuka medsos yang saya kelola 😀
Nah, anda sebagai pembaca curcol saya ini bisa bantu saya juga kan? – Yang punya akun Twitter sila follow @PTPSW_BPPT ya… – Kalau pemain Instagram, jangan ragu untuk follow @PTPSW_BPPT – Dan kalau anda pemain Facebook, segera likefan pagePTPSW BPPT (atau gunakan taut berikut @PTPSW.BPPT)
Saat bertugas di daerah yang belum ter-cover oleh provider telepon selular yang saya pakai itu merepotkan. Bukan hanya karena tidak bisa berkomunikasi normal (suara atau teks) tetapi juga tidak bisa internet. Sering kali saya dan tim survey saling ganggu: makanya jangan hanya beli pulsa, tapi beli juga sinyalnya.
Saya pakai XL yang hampir nggak ada masalah kalau dipakai di Jabodetabek. Saat saya ke pedalaman di Bengkulu atau Sulawesi Tengah atau Riau atau Pulau Weh maka sinyal tiada berjumpa lagi. Lalu apakah harus ganti kartu (SIM) tiap kali bepergian? Secara praktik ya dimungkinkan tapi secara praktis ya nggak lah.
Untuk mengatasi masalah ini, saya mengakali dengan membawa modem wi-fi. Modem wi-fi, yang memang dipakai di rumah, saya pinjam dulu untuk keperluan blusukan. Saya isikan dengan paket internet dari provider yang mempunyai jaringan luas, Telkomsel. Cukup dengan membeli paket data, langsung colok di modem, beres. Sekalipun nomor XL saya tidak terjangkau (untuk komunikasi suara atau teks konvensional/biasa), tapi masih bisa dijangkau melalui internet. Saya pun masih tetap bisa menjangkau dunia luar dengan memakai jalur internet.
Enam bulan terakhir saya selalu beli sinyal saat bertugas blusukan. Cukup beli paket, colok, beres. Kalau paket habis, beli lagi paket yang baru. Mengapa nggak diisi ulang saja? Ternyata untuk isi ulang lebih mahal dibandingkan dengan beli kartu (paket) perdana, dan saat ini masih memungkinkan untuk pakai perdana tanpa aktivasi rumit. Penjual pulsa eceran sudah menyiapkan paket-paket data dengan berbagai pilihan. Ada yang quota data terbagi-bagi dengan berbagai aplikasi (sekian untuk Facebook, untuk Youtube, untuk dll), ada juga yang gelondongan tanpa pembagian apapun. Nah saya selalu pilih yang kedua, beli paket yang gelondongan.
Untuk tahun depan, 2018, entahlah apakah masih bisa seperti ini atau nggak. Sesuai dengan peraturan pendaftaran nomor, katanya, untuk paket data juga harus didaftarkan… Ah itu urusan nantilah, yang penting selama ini yang saya lakukan tidak melanggar hukum.
Jadi, kalau blusukan, jangan lupa beli sinyal ya… 😀
Saya beruntung bertemu dengan Pak Rahmad, pensiunan nelayan, di pantai kota Krui, Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Dan satu lagi adalah pak Zul, seorang petani nanas dan mantan nelayan di Sungai Apit, Siak, Provinsi Riau.
Pak Rahmad bercerita tentang perjalanan hidupnya menjadi nelayan. Yang mengesankan saya bukan suka-dukanya menjadi nelayan (yang tak beda jauh dengan suka-duka jadi PNS, ups…), tetapi kemampuan ia menerangkan tentang tsunami. Iya, tentang tsunami, mengapa terjadi dan apa akibatnya bagi nelayan. Ia banyak cerita saat tsunami dari gempa Aceh 2004, yang terasakan juga di Krui.
Ia bukan lulusan dari mana-mana, hanya seorang yang cerdas hasil pendidikan gelombang-gelombang ganas di Samudra Hindia. Ia paham hukum alam dan bagaimana mensyukurinya dalam langkah hidupnya. Pagi itu menjadi obrolan berdua yang sangat menarik di tepi pantai Krui. Bertambahlah kenalan dan ilmu kehidupan saya.
Sekitar 780 km dari Krui, saya bertemu dengan pak Zul. Saat itu air hujan sedang menghujam ladang nanas di tanah gambut yang saya kunjungi, Pak Zul menawarkan singgah di rumahnya, tak jauh dari kebun nanasnya. Pekarangan dan rumah yang rapi dan sangat sederhana, tapi jangan salah, dilengkapi dengan panel surya dan parabola, disanalah pak Zul tinggal. Ia mengolah kebun nanas untuk dijual ke pengepul yang selalu datang menjemput ke desa ini.
Kopi dan buah naga terhidang menjadi plus nikmatnya, bukan hanya karena hangat kopi dan manis buahnya, tetapi karena kehebatan tuan rumah. Pak Zul mengaku asli dari kampung itu, dan selalu melempar canda yang cerdas. Saya dan tim pun sering terkena tikaman tajam dari canda pak Zul yang membuat kami semua tergelak. Hebat, pak Zul mampu berkomunikasi dengan menarik sembari menceritakan kehidupannya yang keras. Pelajaran tambahan bagi saya dari orang kampung satu ini.
Pak Rahmad dan Pak Zul, keduanya adalah orang profesional, menguasai bidang kerjanya dan mampu berbuat banyak bagi sekitar. Mereka berdua adalah orang yang cerdas. Saya beruntung sempat bertemu dan mengenal mereka.
Mereka adalah orang kampung, “pribumi asli”, tanpa retorika kampungan…
Menapaki langit bersama maskapai Garuda Indonesia tentunya pengalaman yang mengasyikkan. Dalam tiga bulan terakhir saya berkesempatan ke berbagai lokasi di Sumatera dan Sulawesi dengan menggunakan maskapai National Flag Carirer ini, dan semuanya dengan standar layanan yang baik.
Sebagai maskapai penerbangan yang masuk dalam 10 maskapai terbaik dunia dan peringkat lima maskapai terbaik se Asia Pasifik tahun 2017 versi TripAdvisor (diberitakan Kompas April 2017) maka tiada perlu lagi didetilkan apa keistimewaan layanan maskapai ini.
Yang sekerikil mengganjal dibenak saya adalah penggunaan Bahasa Inggris dalam menyampaikan pesan dari pamugari/a kepada para penumpang. Seperti biasa, saat akan take off atau sesaat setelah landing ada pemberitahuan kepada penumpang, dalam bahasa Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan bahasa Inggris.
Nah, pada bagian bahasa Inggris, kerikil yang saya rasakan adalah pengucapan yang tidak sesuai dengan yang sebaiknya diucapkan. Intonasi dan pemenggalan kata adalah bahasa Indonesia bangeeet padahal saat itu sedang berbicara dalam bahasa Inggris.
Bagi sebagian besar penumpang (orang Indonesia) pastilah sebodo amat dengan pengumuman dalam bahasa Inggris tersebut, tetapi untuk orang asing apalagi yang negaranya adalah pengguna bahasa Inggris maka suara yang terdengar akan terasa aneh bahkan lucu. Karena apa? Karena intonasi dan pemenggalan katanya benar-benar seperti mengucapkan kalimat dalam bahasa Indonesia.
Lalu bagaimana pengucapan yang baik? 😀
Video penjelasan keselamatan pada kondisi darurat.
Untuk sebagian penerbangan, Garuda Indonesia telah menggunakan video dalam menyampaikan kondisi penyelamatan diri sesaat penerbangan akan dimulai. Penyampaian dalam video ini menggunakan dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Inggris. Nah, coba diperhatikan intonasinya, dan juga penggalan katanya, dari kedua bahasa tersebut. Akan terasa sekali bedanya, bukan?
Dalam hal penyampaian pengumuman oleh pramugari/a secara langsung ada baiknya juga diperhatikan cara pengucapannya, sekalipun yang bertugas bukanlah pengguna native bahasa Inggris. Tidaklah sulit mempelajari pengucapan dalam bahasa Inggris (biasanya English American yang simpel ya…) apalagi jika kalimatnya relatif sama pada setiap penerbangan. Pasti bisalah… 😉
Itu aja sih kerikil keciiil yang saya rasakan… 😀
Ohya, satu hal yang selalu saya sukaaaa adalah instrumental lagu-lagu daerah saat mana pesawat sedang bergerak dari landasan (sesaat setelah landing) menuju tempat parkir… Suasananya Indonesia bangeeeet …
Saling menempatkan diri pada posisi yang sebenarnya, saling menghormati, menjalin komunikasi yang baik, dan selalu berusaha bertindak profesional, memang suatu keharusan dalam sistem manajemen. Hal ini terikat tidak hanya pada penyedia layanan tetapi juga pada yang dilayani. Saling memberi kepercayaan penuh tetapi tetap selalu mengoreksi dengan cara yang baik adalah keharmonisan yang berujung pada keuntungan disemua pihak.
Emerging Science Themes from the LCLUC Science Team Meeting on Land-Cover/Land-Use Change Processes in the Monsoon Asia Region (The Earth Observer Vol 21 Issue 2).
Pertemuan para saintis studi perubahan tutupan dan penggunaan lahan se Asia Tenggara, di Khon Kaen Thailand, pada Januari 2009.