Kursi menjadi begitu penting saat kita ingin duduk. Normalnya memang demikian. Kecuali saat mana kita tahu bahwa di lokasi tersebut tidak mungkin ada kursi, maka kita mencari alternatif lain sebagai alas kenikmatan duduk.

Satu waktu, sebagaimana biasa saat pulang kerja, saya menuju tempat parkir bis hantaran kantor di halaman parkir. Setelah sampai saya segera naik dan mendapati ada empat rekan yang telah berada di dalam bis tersebut. Saya segera mencari tempat duduk yang akan saya duduki (tentunya) selama dalam perjalanan pulang yang akan memakan waktu panjang.

Bis ini mempunyai kapasitas penumpang, sesuai jumlah kursi, adalah 29. Satu kursi lagi, kursi ke-30, adalah kursi pak supir. Dengan kapasitas seperti ini tentunya akan sangat mudah bagi saya memilih kursi saat itu. Empat orang rekan sudah duduk, berarti masih ada 26 kursi lain yang bisa dipilih, eh, tepatnya 25 kursi.

Setelah diperhatikan tiap kursi dari belakang hingga depan, ternyata, semua kursi telah ada barang. Barang ini berupa tas, jaket, dlsb. Artinya jelas, sejelas saya melihat saat itu, bahwa semua kursi yang ada barangnya berarti tidak bisa saya duduki. Kursi yang telah diduduki oleh para barang ini memiliki arti telah ditandai oleh sang pemilik barang bahwa kursi tersebut adalah yang akan didudukinya.

Bagaimana mungkin empat orang yang terlihat tetapi semua kursi telah diokupasi semua..?

Penjelasannya mudah, karena modus operandi ini memang sudah semakin biasa dilakukan.

Kapasitas bis ini adalah 29 penumpang, sedangkan jumlah normal penumpang yang biasanya harus terangkut adalah 35 – 40 orang. Perlu diketahui bahwa bis yang berkapasitas 29 orang ini adalah bis pengganti dari bis yang lebih besar dengan kapasitas 45 orang. Kelebihan penumpang dari kapasitas tampung menimbulkan persaingan ketat untuk dapat menduduki kursi yang ter-install di bis.

Persaingan ini membuat para calon penumpang mempunyai cara untuk “tek-tekan” yaitu dengan naik bis terlebih dahulu, biasanya 45-30 menit sebelum bis berjalan, dan setelah meletakkan tanda berupa tas atau jaket atau lainnya, segera kembali ke ruang kerja. Sehingga saat waktunya pulang tiba maka tidak perlu lagi tergesa menuju ke bis, cukup jalan santai, karena kursi telah “dimiliki”.

Salahkah modus operandi ini..? Tentunya tidak, karena tidak ada konsensus ataupun peraturan tertulis mengenai aturan menempati kursi bis saat kapasitas bis tidak mencukupi. Tidak ada yang dilanggar, ‘kan..?

Saya sangat sadar dengan kondisi “persaingan” ini, dan tidak melakukan hal yang sama dengan yang lain. Saya cukup keluar ruang atau gedung saatnya jam pulang tanpa perlu “mencari tiket” untuk mendapatkan kursi nyaman. Tanpa perlu menyalahkan siapapun, karena tidak ada yang salah, cukup naik dan menikmati “kursi bakso” yang berupa kursi plastik seperti pada gambar ilustrasi diatas, dan menikmati perjalanan dengan santai di kursi nomor 31, selama dua jam perjalanan…

Saya sadar bahwa mendapatkan “kursi nyaman” itu memang perlu usaha yang lebih, dimanapun…

: )

Gambar: ilustrasi. Sumber: http://plastik.distributor123.info